” Nikah Beda Agama “

“ Nikah Beda Agama ? Emang kenapa ?… “

Ternyata enggak hanya orang Indonesia yg nikah beda agama, di-negara lain juga sama aja, di-Inggris contohnya. Untuk selanjutnya silahkan sampeyan baca aja sendiri ya. Sumber: milis lightuponlight dan internet.

Beberapa hari belakangan, entah kenapa topik relationship beda agama terus mampir di keseharian saya. Mulai dari cerita tentang ortunya sahabat, kisah pribadi seseorang yang sangat dekat dengan saya, curhat putusnya seorang saudara dengan pacar yang beda agama, rencana nikah sepasang manusia (yang saya kenal) yang beda agama, dll.

Sebelumnya, maaf ya kalau topiknya agak sensitif. Mohon jangan dimasukkan ke hati dan mohon maaf jika ada yang tersinggung. Namun tulisan saya ini merupakan pemikiran polos aja dari kepala dan hati saya. Bukan untuk dijadikan bahan diskusi.

Just a thought I wanna write about.

Jadi kepikiran…

Kenapa ya, relationship (pacaran / tunangan / pernikahan) yang beda agama, dipandang sangat kontroversial oleh masyarakat pada umumnya?

Mulai dari pertentangan yang biasanya muncul dari pihak keluarga pasangan yang berhubungan, sampai dengan kesulitan luar biasa secara sipil maupun agama, untuk melakukan pernikahan beda agama dan mensyahkannya.

Padahal, yang ada di kepala saya, bukankah baik jika ada 2 orang yang beda agama bisa berkomitmen untuk menjalankan sebuah hubungan dekat, bahkan sampai ke ikatan yang serius untuk menghabiskan hidup mereka bersama?

Ada pengertian yang luar biasa dari masing-masing individunya, untuk membiarkan pasangannya meyakini dan menjalani imannya lewat cara agama yang berbeda.

Apakah sangat sulit berkompromi dengan perbedaan cara kita beribadah satu sama lain?

Padahal, perbedaan ini saya pikir justru dapat mengajarkan lebih banyak hal tentang “cinta Tuhan kepada umatnya”.

Tujuannya sama, hanya caranya yang berbeda. Kita boleh merasa bahwa apa yang kita anut adalah yang paling benar versinya menurut pribadi.

Tapi tidak berarti yang berbeda itu salah kan?

Kenapa juga kasus hubungan yang beda agama, hampir semuanya berakhir dengan salah 1 dari pasangan itu berpindah agama dengan alasan “supaya bisa nikah.” Atau dengan dalih, “biar direstui orang tua.”

Apakah kalau pasangan kita masih berbeda agama, lalu berarti agama kita tidak / kurang dihargai olehnya? Tentu tidak, kan? Jika perpindahan agama tersebut berdasar akan panggilan, lain ceritanya.

Saya bahagia untuk orang-orang yang menemukan panggilannya tersebut. Sekali lagi, tujuannya toh 1, Tuhan juga.

Sayangnya itu semua diatur dan sudah begitu terpatri dalam kehidupan sosial masyarakat. Norma seperti itu ada, karena kebanyakan orang menerimanya sebagai sebuah aturan tidak tertulis yang mesti diikuti.

Saya berpegang pada pemikiran bahwa Tuhan tidak perlu dibela. Tuhan sudah jelas adalah Yang Maha Esa, Maha Tahu, Maha Murah, Maha Bisa, dan lain sebagainya. Karena itu kita menyembah Tuhan, bukan?

Kenapa kita yang hanya manusia, sampai bisa sok mau membela Tuhan dengan berbagai cara demi pertambahan pengikut aliran yang kita anut?

Tuhan sudah jelas adalah Maha Tinggi yang memberi, menciptakan, menggariskan dan yang berhak mengambil hidup kita. Tuhan yang atur semuanya itu. Kita tinggal ngikut.

Cukup ngerti dengan pandangan bahwa, kalau nikah beda agama, bakalan repot kalau nanti punya anak. Anaknya mau ikut agamanya sang Ayah atau sang Bunda?

Tapi tidakkah hal ini bisa dirembugkan dengan sabar dan terbuka?

Ataukah gengsi kita terlalu besar untuk membiarkan keturunan kita ikut agama pasangan kita yang berbeda itu?

Sulit rasanya mengubah norma yang sudah ada di masyarakat ini. Dan saya tidak bermaksud demikian. Hanya saja saya ingin berbagi, di mana “dunia ini menghargai dan berbahagia dalam keragaman”.

Semoga damai menyertai kita semua.Sumber : “nungki_ml”

Komentar : Dade Prabowo

So..that’s why di qur’an dan hadits..tidak pernah ada satupun kalimat yang menyatakan…

“Janganlah kamu menikah dengan pasangan yang BEDA AGAMA.”….

Beda agama which only terms that used by DEPAG to translate the arabic words on their understanding..

Yang ada justru…

” Janganlah kamu menikah dengan pasangan yang BEDA IMAN / KEYAKINAN “….

Ga percaya ?

ya udah…ga usah percaya aja sekalian….tapi coba deh tabayun….or cek-dan re-check…bener ga ya?

Lalu apa sebenarnya iman ini ?

klo kata nabi sih , iman itu :

Tasdiqu bil qolbi……Iqroru bil lisan…..a’malu bil arkan….

(diyakini dalam qolbu….diucapkan oleh lisan…dan dikerjakan oleh perbuatan)..

Lalu, apa ya yang seharusnya diyakini oleh si Qolbu ?

lalu diucapkan lisan ..dan kemudian dilakukan oleh perbuatan…??

apa itu ya maksudnya ?…..hmm…cari sendiri deh maksudnya…

Jadiii….boleh ga ya nikah BEDA AGAMA…….??? Ah…..masa sih ga tau jawabannya..

Katanya Mac’ Ree Fat…. (Dari saudaranya Mac Book dan Mac Book Pro..)..

Komentar : Azhar

Beda agama ribut!?!!!…, tapi untung putusannya ketika akan memepersatukan dalam pernikahan, salah satunya cuma pindah agama… coba kalo beda kelamin?!?… terus salah satunya harus berubah kelamin…repot khan?!..

jadi syukuri aja peraturan yg ada… gitu aja kok repot..

Apalagi kalo agamanya sama dan harus sama juga kelaminnya…pasti ada yg repot ada juga yang girang…

Ada slogan yg sekarang sudah terlalu sering didengar “jangan lihat perbedaannya lihat persamaannya”

walah ini jelas merepotkan dan ga didukung…

lebih banyak yang suka dengan “perbedaan” dibandingkan dengan “persamaan”, walau ada juga yg senang dengan “persamaan”

betul begitu Nung?

udah terbit tuch buku mengenai hal ini.. “religion under cover” udah diterjemahkan kebahasa melayu “agama dibawahnya kekafiran yang kuper’ check aja di Lilin.. mungkin sudah diterbitkan.

Komentar : Asnawi Ihsan

Bro, setuju atau tidak setuju nikah beda agama, itu bukan karena syari’atnya mantab atau anti syariat. tapi tidak lain sebagai dinamika penafsiran terhadap teks saja.

Seorang yang kuat secara syar’i namun dalam penafsiran teks berpijak pada metodologi penafsiran kontekstual semisal hermeunetik bisa diprediksi akan berpandangan bahwa nikah beda agama adalah hal yang dibolehkan dalam tradisi Islam.

Anda bisa cermati seorang Rasyid Ridha yang sebegitu syar’inya namun membolehkan perkawinan beda agama.

Anda bisa lacak dalam tafsir Al-Manar Jilid VI.

Untuk level Indonesia misalnya, tercatat seorang ulama besar sumatra Syeikh Abdul Hamid Hakim juga berpandangan yang sama yang oleh kalangan masyarakat Islam Indonesia lebih dikenal sebagai ulama dibidang ushul fiqh.

Anda pun bisa lacak dalam karya Syeikh Abdul Hamid Hakim dalam kitab Al-Muin Al Mubin Juz IV.

Begitupun sebaliknya, seorang yang tidak mengerti syariat atau bahkan tidak taat syariat bisa saja tidak setuju perkawinan beda agama karena memiliki cara berpikir yang ekslusif.

Wassalam,

Asnawi Ihsan

Ikutan nimbrung soal kawin beda agama. Di bulan juni lalu aku pernah posting renunganku tentang nikah beda agama diblog-ku

http://www.asnawiihsan.blogspot.com/.

Mungkin bisa juga menjadi tambahan informasi buat saudara-saudara seperguruan.

Pernikahan Beda Agama – Ternyata…, Masih Saja Marak-

los bilbilicos cantan.. con sospiros de amor..
mi neshama mi ventura.. estan en tu poder..

Saat makan siang tadi, tiba-tiba terdengar Potongan lagu di atas, Los Bilblicos(the nightingales), yang memang aku setting sebagai nada dering panggilan masuk HP-ku.

Buru-buru aku periksa HP dan ternyata Ronald (nama samaran)yang menghubungiku. Ronald ini adalah kawan dari salah satu klienku di kantor.

Sudah hampir sebulan sejak pertama kali kenal, ia rajin menelpon dan mengajakku bertemu untuk mendiskusikan masalah yang dihadapinya.

Ronald berkeinginan melangsungkan pernikahan beda agama. Ronald seorang Katolik dan pacarnya, Sari (juga nama samaran), seorang muslimah.

Seingatku, sejak awal tahun 2007 saja, ada sekitar 9 pasangan berbeda agama yang konsultasi kepadaku dan berangkat dari latar belakang yang beragam.

2 Pasangan baru saja menyelesaikan studi mereka di Perguruan Tinggi Katolik di Bandung, sepasang kekasih berasal dari Solo, Sepasang lagi, si perempuan seorang pengasuh panti asuhan di Yogyakarta dan calon suaminya seorang guru besar salah satu perguruan tinggi di Amerika, dan sisanya berasal dari sekitar Jabotabek.

Ada yang bekerja di salah satu TV swasta, BUMN, dan anak Pengusaha di Depok. Itu baru yang berkonsultasi kepadaku, belum lagi yang berkonsultasi ke Pakar Pernikahan Beda Agama di Indonesia, Pak Kautsar Azhari Noer dan Pak Zainun Kamal, atau ke 2 orang kawanku yang memang aktifitasnya membantu teknis pencatatan dan pelaksanaan prosesi pernikahan beda agama.

“Setidaknya, setiap Tahun ada sekitar 30 s.d. 50 pasangan yang kami bantu untuk dinikahkan secara beda agama,”

Ujar Pak Kautsar dalam satu kesempatan.

Data itu belum termasuk pasangan-pasangan yang sudah berkonsultasi namun sampai saat ini belum juga melangsungkan pernikahan beda agama atau mengurungkan niatnya untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan.

Artinya, terlepas dari jadi menikah atau tidak, kita tidak dapat menyangkal bahwa keinginan melangsungkan pernikahan beda agama masih saja marak meskipun Negara dan Mayoritas Ulama Indonesia jelas-jelas melarang jenis pernikahan ini.

Sampai detik ini, aku memang hanya menyediakan diri untuk memberikan konsultasi hukum Islam dan pertimbangan-pertimbangan lainnya saja.

Sementara untuk membantu secara teknis proses pernikahan beda agama aku memilih tidak, meskipun aku cukup mengerti dan memiliki akses untuk melakukannya. Keterlibatanku jelas hanya sebatas itu, karena mungkin aku merasa sampai disitu tanggungjawabku sebagai sarjana Hukum Islam yang mengambil tugas akhir melakukan penelitian seputar perkawinan beda agama baik dari segi hukum Islam dan prakteknya di Paramadina.

Pandanganku sekarang memang berbeda jika dibandingkan empat tahun lalu saat aku masih hangat-hangatnya menjadi orang yang memilih posisi di garis liberal dalam pemikiran Islam.

Dulu, jika ada orang yang datang berkonsultasi ingin melakukan pernikahan beda agama, dengan berapi-api aku akan langsung mendukung rencana itu dan lantas memberikan dasar argumentasi yang kuat secara syar’i dan historis. Sehingga orang itu menjadi yakin dan pada akhirnya melangsungkan pernikahan beda agama.

Tapi kini, aku berpandangan sedikit berbeda. Aku tetap yakin bahwa dalam hukum Islam, perkawinan beda agama itu sama sahnya dengan perkawinan seagama.

Begitu menurutku jika kita ingin berargumentasi di atas kontruksi hukum Islam an-sich.

Akupun tetap tidak setuju dengan alur berpikir yang mengatakan bahwa pernikahan seagama saja banyak yang tidak langgeng apalagi pernikahan beda agama.

Pergeseranku bukan terletak disana, tapi lebih pada pandangan bahwa persoalan pernikahan beda agama tidak dapat diselesaikan hanya dengan melihat boleh atau tidaknya dalam hukum Islam.

Sekarang, ketika didatangi orang yang berniat melakukan pernikahan beda agama, secara tegas aku akan mengatakan dua pandangan yang bersebrangan dalam hukum Islam.

Pandangan yang membolehkan dan pandangan yang mengharamkan berikut dalil syar’i dan dinamika praktek pernikahan beda agama dalam panggung sejarah Islam.

Tidak perlu berpanjang lebar mengulas perdebatan teologis dalam masalah ini. Cukup sampai disitu dan terserah mereka mau memilih maju atau mundur. Tapi, setelah itu, aku akan lebih banyak mengajak mereka berpikir menatap persoalan-persoalan lain yang selanjutnya satu persatu akan mereka hadapi jika mereka ingin tetap melangsungkan pernikahan beda agama.

Aku akan mengajak mereka merenungi beberapa hal, mulai dari kemungkinan terjadinya konflik di keluarga masing-masing jika keluarga menentang rencana mereka, sanksi sosial yang akan mereka terima di tengah masyarakat yang cenderung menolak pernikahan beda agama, bagaimana mendidik agama bagi anak-anak mereka, bagaimana anak mereka juga harus siap menerima sanksi sosial di mana sebagian orang yang beranggapan anak yang lahir dari pernikahan beda agama adalah “anak hasil zina” (meskipun istilah ini sangat tidak manusiawi), hingga hal yang paling berat, meskipun mereka hidup bersama, namun harus mengalami kesendirian dan kesepian sepanjang hidup dalam menjalani dan menghayati keberagamaan.

Untuk masalah terakhir tadi memang sangat pelik, misalnya jika suaminya seorang muslim, setulus apapun sang suami menghayati perayaan natal sang istri yang beragama kristen, tetap saja sang suami berada “diluar” dan tidak pernah bisa masuk secara total seperti apa yang dialami dan dirasakan sang istri dalam memaknai natal.

Kecuali sang suami memiliki keberanian dan kemampuan “melintas” ke spiritualitas agama istrinya. Dan itupun bukan perkara mudah. Padahal, jelas-jelas bahwa hakikat pernikahan adalah menyatukan dua jiwa menjadi satu kesatuan utuh dalam bingkai spiritualitas sehingga mampu “menghadirkan” Tuhan dalam setiap gerak langkah mereka agar manusia tidak lagi merasa hampa dalam menjalani peran kemanusiaannya di dunia.

Pernikahan bukan sekedar legalisasi syahwat, regenerasi, menjalankan sunnah nabi, atau mengikuti tradisi saja.

Tapi Pernikahan harus bisa dijadikan jalan menempuh hakikat kebenaran dimana sepasang manusia saling mengisi, membimbing, dan menemani agar satu sama lain secara bersamaan sampai kepada-Nya bukan saja secara syar’i, tapi jauh lebih dari itu… sangat jauh.. hingga menembus “sidratul Muntaha” yang syar’i pun tidak mampu menjelaskannya..

Mengapa kemudian Nabi Muhammad betapa menempatkan pernikahan sebagai hal yang sangat penting.

Sesungguhnya, pernikahan atau jalan cinta, jika dimaknai lebih dalam lagi tidak hanya perspektif syar’i, adalah jalan setapak yang akan mengantarkan kita mencapai Tuhan. Maka menurutku, apakah pernikahan itu dilakukan oleh pasangan laki-laki dan perempuan yang seagama atau berbeda agama itu tidak menjadi penting selama bisa mencapai tingkatan ini.

Wallahu ‘alam..

Re: Nikah Beda Agama

Dr. Zainun Kamal, MA:
Nikah Beda Agama
30/06/2002

Teks-teks suci tidak berdiri pada ruang hampa ketika ia menyapa manusia. Satu kasus menarik adalah ketika Khalifah Umar melarang seseorang menikahi ahli kitab, sementara Al-quran memperbolehkan-nya. Hal ini menunjukkan intervensi sesuatu diluar teks. Pada kasus lain, sebagian ulama masih mengharamkan seorang muslimah menikah dengan laki-laki non-Islam.

Memang banyak peristiwa disekitar kita yang menunjukkan ambiguitas teks ketika berhadapan dengan realitas bahwa cinta suci tidak memandang sekat-sekat etnisitas dan agama.

Perkawinan Yasser Arafat dengan Suha, Jamal Mirdad dengan Lidya Kandouw dan lain-lain menjadi contoh kecil dari hamparan banyak kasus pernikahan antar agama.

Berikut ini petikan wawancara Dr. Zainun Kamal, pengajar pasca-sarjana UIN Syarif Hidayatullah dan alumnus dari Universitas Al-Azhar dan Kairo University, Mesir dengan Nong Darol Mahmada dari Kajian Utan Kayu (KUK).

Wawancara yang disiarkan Radio 68H dan jaringannya diseluruh Indonesia pada 20 Juni 2002 ini juga menghadirkan Bimo Nugroho, salah seorang Direktur Institut Studi Arus dan Informasi (ISAI) Jakarta yang mengalami secara langsung pernikahan antaragama.

Mas Bimo, Anda adalah seorang pelaku pernikahan antaragama. Anda seorang Katolik, sedang istri Anda seorang muslimah yang berjilbab.

Apa kendala yang Anda alami dalam pernikahan beda agama ini?

Bimo: Kendala awalnya terjadi ketika melamar. Sebetulnya saya sudah dekat dengan calon mertua saya sebelum menikah. Tetapi ketika saya melamar, situasinya menjadi serius sekali. Ketika saya melamar, mertua saya menjawab begini:

” Nak Bimo tahu sendiri kan kami ini Islam. Jadi, kalau mau menikah dengan anak saya, Nak Bimo harus masuk Islam dulu ! ”

Saya langsung terdiam dan situasi menjadi hening. Saya bingung mau jawab apa ?

Karena dia menanti jawaban saya, akhirnya yang keluar dari mulut saya begini :

” Pak, saya ini orang Katolik. Tapi ke-gereja seminggu sekali saja bolong-bolong, apalagi bila masuk Islam dan harus salat lima kali sehari. Wah, saya pasti lebih banyak berdosa bila masuk Islam dari-pada tetap di-Katolik.”

Itu saya ucapkan karena saya tidak ingin masuk Islam hanya krn formalitas untuk menikah saja. Akhirnya, pada saat pernikahan, orang tua isteri saya tidak bisa hadir. Ini kesulitannya dan merupakan hal yang paling berat bagi isteri saya.

Bagaimana dengan prosedur di-catatan sipil dan prosesi pernikahan lain-nya?

Bimo: Oh, kami lancar. Akhirnya kami menikah dengan dua cara juga. Menikah dengan cara Katolik di gereja – disana ada dispensasi untuk menerima isteri saya yang tetap Islam – juuga pernikahan secara Islam.

Pak Zainun, sebenarnya bagaimana pandangan Islam tentang persoalan pernikahan antar agama ini?

Zainun: Untuk melihat persoalan ini, mungkin dua hal yang perlu kita bahas. Dilihat dari hukum positif, negara memang tidak mengizinkan kawin antar agama. Dalam hukum agama yang umum ada dua penjelasan:

Pertama, secara eksplisit teks Alquran membolehkan laki-laki muslim menikah dengan perempuan non-muslim. Itu terdapat dalam surat al-Maidah ayat 5.

Bahkan, ada pembahasan ulama yang lebih luas tentang ayat itu.

Umumnya, yang masuk lingkup ahli kitab itu hanya Yahudi dan Kristen. Tapi dalam ayat itu bukan disebut ahli kitab, tapi alladzîna ûtû al-Kitâb, orang-orang yang mempunyai kitab suci.

Dalam Alquran terdapat kategorisasi golongan :

·musyrik, ·mukmin dan ·ahli kitab.

Orang musyik adalah mereka yang percaya pada adanya Tuhan, tapi tidak percaya pada kitab suci dan atau tidak percaya pada salah se-orang nabi. Mereka itu adalah musyrik Mekah dan secara hukum Islam tidak boleh sama sekali dinikahi.

Kalau ahli kitab, mereka percaya pada salah seorang nabi dan salah satu kitab suci.

Yang diistilahkan Alquran dalam surat al-Ma’idah adalah orang-orang yang diberikan kitab. Mereka percaya bahwa itu adalah kitab suci dan yang diutus kepada mereka adalah seorang nabi; maka menikahi mereka itu dibolehkan.

Misalnya, orang Budha menganggap mereka punya kitab suci dan Budha Gauthama adalah seorang Nabi. Konghuchu, dianggap nabi dan mempunyai kitab suci. Demikian juga dengan Sintho.

Mereka itu dianggap sebagai orang yang diberi kitab dan boleh di-kawini. Mereka kadang mengatakan, ini kitab dari Nabi Ibrahim, kok! Atau kitab dari Nabi Luth. Yahudi boleh karena jelas diutus padanya Musa. Umat Nasrani mempunyai nabi Isa. Itu beberapa pendapat.

Ulama yang mempunyai pembahasan yang lebih luas memasukkan Konghuchu, Budha dan Shinto sebagai yang boleh dikawini. Itu memang sudah dipraktekkan Islam dan sampai sekarang banyak sekali laki-laki muslim yang menikah dengan perempuan non-muslim.

Adakah praktik pernikahan antaragama dalam sejarah Islam?

Zainun: Yang mempraktekkan itu misalnya,

·Yasser Arafat dan itu tidak menjadi masalah di-Palestina sana.

·Nabi sendiri menikah dengan Maria Koptik yang semula beragama non-Islam.

·Utsman kawin dengan salah seorang ahli kitab.

Ada yang dengan Kristen dan juga dengan Yahudi. Sampai sekarang, praktek pernikahan antaragama itu berjalan terus. Sebagian ulama melarang, tapi teks secara eksplisit membolehkan.

Persoalan kita tadi, bagaimana kalau sebaliknya, yakni laki-lakinya non-muslim dan perempuannya Islam seperti kasus Mas Bimo ini.

Pertama-tama perlu saya jelaskan, bahwa teks Alquran secara eksplisit tidak ada yang melarang. Hanya saja, mayoritas ijtihad para ulama, termasuk di-Indonesia, tidak membolehkannya meski secara teks tidak ada larangan. Makanya, yang membolehkan memiliki landasannya dan yang melarang juga punya landasan tertentu.

Larangan muslimah menikah dengan laki-laki non-Islam itu tidak di-sebutkan dalam Al-quran. Ini merupakan pendapat sebagian ulama.

Lantas bagaimana Anda menyimpulkan dari sesuatu yang tidak dieksplisitkan oleh Alquran?

Zainun: Saya ingin menceritakan beberapa kasus. Misalnya, saya pernah bertemu dengan sepasang suami-isteri. Yang perempuan, pada mulanya muslim, lantas menikah dengan seorang Belanda, lantas masuk Kristen. Dan mereka sudah punya tiga anak. Kemudian dalam perjalanannya, perempuan ini mau kembali masuk Islam dan minta izin kepada suaminya. Akhirnya diizinkan oleh suaminya dan perempuan itu masuk Islam.

Masalah kita sekarang berbeda, yang suaminya masih Katolik dan perempuannya Islam. Itu diizinkan sendiri oleh suami.

Apakah dalam kondisi begini akan dibolehkan kalau kita berpegang pada pendapat pada ulama tadi?

Kalau sekiranya ini tidak dibolehkan, tentu saja wajib cerai.

Bagaimana hak perempuan ini?

Dia bahkan bisa diusir dari Belanda.

Apakah memang agama itu menempatkan kedudukan wanita seperti itu?

Oleh karena itu, karena tidak ada teks yang tegas tentang itu, maka ijtihad yang berlaku tentang pernikahan seperti itu tentu perlu ditinjau kembali.

Yang menjadi persoalan besar dalam pernikahan antar agama ini adalah persoalan anak.

Bagaimana status agama anak Anda karena Anda berbeda agama?

Bimo: Pernikahan kami sekarang telah melewati masa hampir tujuh tahun. Kesepakatan-nya memang terserah pada anak itu mau memilih agama apa. Tapi kemudian saya melihat kenyataan bahwa dirumah anak-anak lebih banyak waktu dengan istri saya. Istri saya beragama dengan baik, shalat lima waktu dan berjilbab. Kemudian anak saya dididik secara Islam dan saya sendiri berpikir, kalau dia beragama Islam secara baik, kenapa tidak?

Sementara karena saya lebih banyak waktu di-kantor, tidak normal juga kalau saya menuntut anak saya beragama Katolik sementara saya tidak bisa mencurahkan waktu untuk mendidik anak saya secara Katolik.

Zainun: Mengenai masalah anak, tadi dijawab oleh Mas Bimo. Karena yang penting, bagaimana suami-isteri itu mendidik anak secara baik. Karena dalam semua agama mengandung nilai moral yang sama dan bersifat universal. Kita mendidik anak untuk berbuat baik pada orangtuanya. Kita mendidik anak kita supaya jangan berbuat jahat dan berbuat baik pada siapa saja. Saya kira, itu nilai-nilai universal yang sangat ditekankan semua agama. Jadi kita didik anak kita secara baik kemudian dia pilih agama apa, hal itu terserah anak.

Saya kira, salah satu alasan sebagian ulama mengharamkan laki-laki non-muslim menikah dengan wanita muslim karena dikhawatirkan istri atau anak-anaknya menjadi murtad.

Tapi kalau kita melihat kasus mas Bimo ini, malah sebaliknya. Anak-anaknya semua ikut ibunya karena yang banyak mendidik anak dirumah adalah ibunya. Karenanya, dalam kasus ini, ijtihad dan pendapat para ulama yang melarang wanita muslim menikah dengan pria non muslim perlu ditinjau ulang.

Bagaimana dengan masalah warisannya?

Zainun: Dalam masalah warisan, pendapat ulama berbeda-beda. Ada yang menyebut tidak boleh saling mewarisi kalau berbeda agama. Tapi ada yang berpendapat sesungguh-nya sang isteri bisa mewarisi suami dan tidak bisa sebaliknya. Betapa pun saya kira ada solusi terbaik dari Alquran. Toh ada wasiat misalnya. Kalaupun terhalang, suami bisa saja berwasiat, ini rumah kalau saya meninggal nantinya untuk kamu. Atau buat anak ini dan itu. Itu boleh saja.

Pak Zainun, ada hadis Nabi tentang pernikahan yang memakai empat kriteria: kecantikan, kekayaan, keturunan dan agamanya. Dan yang dipentingkan dari kriteria itu adalah agamanya. Bukankah itu maksudnya adalah agama Islam?

Zainun: Memang ada kriteria itu: agama, kecantikan, kekayaan dan keturunan. Menurut pendapat sebagian ulama, kita dianjurkan memprioritaskan agamanya.

Kemudian kalau ada orang bilang ini ada perempuan cantik dan saya ingin kawin dengan dia misalnya.

Apakah tidak sah perkawinannya?

Tetap sah. Tapi Nabi menganjurkan memilih agama-nya, artinya orang yang bermoral. Agama dalam arti nilai-nilai yang baik. Namun bila ada yang lebih memilih kekayaan dan kecantikan dalam urusan mencari jodoh, maka tidak dilarang oleh agama dan kawinnya tetap saja sah.

Bagaimana dengan kebijakan Khalifah Umar bin Khattab tentang pelarangan menikahi ahli kitab?

Zainun: Saya ingin menjelaskan alasan pelarangan itu. Ada seorang sahabat bernama Hudzaifa al-Yamani yang kawin dengan perempuan Yahudi, kemudian Umar menulis surat padanya agar menceraikan istrinya. Kemudian Hudzaifah ini menjawab,

Apakah perkawinan kami haram?

“Tidak haram, ”

kata Umar, ” hanya saja, saya khawatir perkawinan kamu itu nantinya berdampak negatif?”

Apa maksudnya?

Begini, ada persoalan sosial pada masa itu. Waktu itu Islam dalam penyebaran ajarannya mengalami banyak sekali tantangan dari luar. Banyak para sahabat yang meninggal dalam medan perang yang me-nyebabkan janda-janda perempuan menjadi membludak. Kalau laki-laki muslim menikah dengan non-muslim, lantas perempuan muslim, khususnya para janda ini bagaimana?

Karena itu Umar secara politis melihat tinjauan strategis itu. Karena dia ketika itu berkuasa, maka dia melarang itu. Larangan Umar bisa di-baca sebagai larangan kekuasaan, dan bukan larangan agama.

Sama saja dengan hukum negara kita sekarang ini. Dalam kasus ini, laki-laki muslim tidak dibolehkan menikahi perempuan non-muslim, padahal hukum agama membolehkan.

Jadi gimana ?

Kawin – jangan – kawin – jangan ?

Kawin ? Jangan ? Jadi sampeyan masih mau kawin-kah ?

Mau kawin…..monggo. Gak mau. kawin juga monggo.

Cinta itu ternyata tidak buta-buta amat tapi kadang2 cinta itu bisa melek….Cinta itu bisa juga bikin sampeyan merem melek. Cinta itu bisa bikin macem2. Tergantung…… 🙂

Berikut ini website di-United Kingdom, tentang pernikahan beda agama yg perlu anda ketahui.

Marriage between christian and muslim.

1 – If the fiancés want to marry in christian church they need to have an exemption of ” disparity of cult “. The marriage is possible in a catholic church between Catholic and Muslim. It is advised to consult a priest or a minister on the problems which the islam-Christian marriages can raise, in the couple.

2 – If the fiancés want to marry in islam rite, they must know that the Islam allows a Muslim man to marry a Christian woman, through Islam ceremony, but refuses that a Moslem woman marries a Christian. So the Christian fiancé must to convert to Islam faith.

See also : Questions-answers
http://www.newadvent.org/cathen/09698a.htm
2-in-2-1.co.uk/forums/showthread.php?t=2695
and all forums about theses problems

MUSLIM/CHRISTIAN – MARRIAGE SUPPORT GROUP

A Network for people involved in or affected by Muslim / Christian Marriage

WELCOME

The seeds of this group were sown in the late 1990s when a small group of us made a decision to take a step into the unknown, not just to live our Muslim/Christian relationships quietly and privately but to make contact with others in a ‘safe’ setting where we could share our experience good and bad.

Since then we have been meeting twice a year in Southall, communicating more than that, and have grown in trust and experience to the extent that we feel we might have a modest contribution to make.

We couldn’t have got this far without the help of wise people who have made the interfaith world so much more than a pious hope.

Our interfaith facilitators have bequeathed to us the ‘language’ of tolerance that makes it possible for us to talk at all, and a wider community of people who think both faiths matter, so that we really do not feel alone, but most of all they give us the courage ‘not to cease from exploration’.

WHO WE ARE

We are a network of people involved in or closely affected by Muslim/Christian marriage. We have a variety of backgrounds and affiliations across both faith traditions.

We are united by our experience of living with both faiths at the heart of our love and our lives and by our desire to explore, value, celebrate and share this experience.

We do this by holding regular meetings, enjoyable and uniting social occasions which also provide an opportunity for members to discuss sincerely and openly with sympathetic others whatever issues affect them.

The group has no particular religious bias or concern beyond the mutual support for committed people engaged on unique but related life journeys.

Its underlying principles are goodwill and courtesy towards the sensibilities of others and tolerance of their different viewpoints.
We aim to build a group of sufficient size, enthusiasm and mutual trust to be able to reach out to the wider community in the following ways:

• By creating and providing supportive resources for those who are involved in, affected by, or thinking about entering a muslim-christian marriage;

• By identifying members who are prepared to represent the group in public or to respond to media and other inquiries;

• By developing links with organisations in both faith traditions, with interfaith organisations and with educational bodies, to ensure that the perspectives of muslim/christian couples and families are more widely known and understood;

• By offering befriending support to couples who require it and help to marriage support organisations in issues relating to muslim/christian marriages.

NEWSLETTER :

Our first issue came out in 2001 when Eid Ramadan and Christmas occured close together – and its theme was Celebrating Difference, different ideas about how to do it, not at a distance but at close quarters – in our homes and hearts. There is of course no single answer but many.

The second issue focused on marriage ceremonies and in our next issue we hope to bring together different experiences and ideas about raising children in a muslim/christian family.
We hope you will find food for thought, for agreement as well as argument and we hope that you will be moved to respond and contribute, to tell us what you like and what you don’t and what you would like to see in future newsletters: our experts are you! Above all though we hope you will feel welcome.

This is the voice of a real community, a family like a real one where people are different, but get to know each other rather well. And there are more of us than you think!

For information about future meetings or to request a copy of the latest newsletter, please contact:

heather@al-yousuf.freeserve.co.uk

A man madly in love with his beloved went to knock at her door. Through the closed door, she asked: ‘Who is there?’

He answered:’It’s me!’

She said: ‘There is no room for both you and me in the same house.’

Upon hearing this, the man left and went to the desert where he spent his time in meditation. Some years later, he came back and knocked at her door again.

The voice of his beloved asked: ‘Who is there?’

He answered: ‘It is yourself!’

And the door opened.

From Muhyi al-Din Ibn ‘Arabi (1165-1240)

God showed … a little thing the size of a hazelnut in the palm of my hand; and it was as round as a ball. I looked on it with the eye of my understanding and thought what may this be?

And I was answered thus: It is all that is made. I marveled how it could last ;for I thought it might disappear altogether it was so little.

And I was answered in my understanding It will last forever for God loves it and so everything that has being has the love of God…

from A Revelation of Love by Julian of Norwich.

I’m new, so hello. Please I need some help and advice…

I married my Muslim husband in October of last year and if I’m honest it has never been easy. There are so many differences and its ruining what we had. When I met him he wasn’t practising, we met in a club whilst he was drunk and he moved in with me shortly afterwards. At that time I was in the process of a divorce which he didn’t seem to mind about. His father died about a year later – after we had done Fetiha in his home country. I agreed to do as I was told, he didn’t even really explain what went on – but I am confident in my religion and went along with it.

A year later we married in England, firstly in a Registry Office so religion was not a problem but I wanted to be blessed, we modified the wedding so as not to offend or cause a problem with Islam for my husband or his friends, which meant I had no sign of the cross and no kneeling – I did this for him. 4 weeks prior to our wedding he decides hold me that if and when we have children they must be Muslim, now I’m sorry, I love my husband but I find this very difficult.

My husband has now semi-returned to practicing Islam – he doesn’t pray or go to the mosque – doesn’t drink, only eats halal and is now pretty much trying to keep us at home. Due to his semi-return my life has changed, I don’t drink, we very rarely go out, I end up eating halal, which I don’t agree with, but I have to accept this because of him. We all know from above my husband has committed extremely serious sins, I was not the first woman he had an affair with.

He tells me he will be punished severely for these sins but the fact is he still insists the children must be Muslim. I don’t understand this, if he was fully practising then perhaps (and it is perhaps) I could understand this better but he is not.

We have discussed names of children so we can try and find some common ground – Joseph and Yousef but he insists that they must been known as Yousef – I am fair haired and blue eyed – what if we have a child the same, he is going to have so much to deal with from a very early age.

I do not hate Islam, but I do not understand the constrains it puts upon us, my Christianity never comes into it, we are never not able to do anything due to Christianity.

I feel I sound like a spoilt child who is not getting her way but this is splitting up our relationship, I love my husband but he will not give on one point, which I’m lead to believe is Islam – can anyone else give me some ideas on how to get through this, I don’t want to divorce but its getting to the point where I just don’t want to be miserable anymore. I’m 32 years old, I don’t go out other than to work – I hold down 2 jobs while he has 1, I stay at home, cook halal and feel I have given up my identity. There are many many more things that have gone wrong in the last 3 years too many to put on here and they are all based around my husband’s selfishness towards me and my religion.

I am sorry to have ranted on but I’m desperate to find people who have been through this and got out the other side. Sorry to be so miserable on my first posting.

Kind regards
Sarah

Hi Sarah

I haven’t shared similar experiences to you but am familiar with what you describe as we have many muslim friends. One particular family that my H and I have been friends with since leaving college.

The boys were all born in this country and had/have local accents. They smoked, drank alcohol frequented clubs and dated white British girls. The one boy fell deeply in love with a work colleague and they dated for years. And then when the time was right he followed through with his family’s expectations and married a girl from his country of origin (known to the family).

The long term girlfriend was “dumped”! These “boys” (now in their forties), all married girls from back home though they continue to drink in pubs, smoke, celebrate Christmas to the full and live a very western style of life.

They certainly don’t observe the Halal rule. They married Pakistani girls because they really wanted to keep the extended family happy. They would never allow any of the older generation to see them breaking the rules and would do nothing to upset the family’s status quo.

Which is why your situation is quite unusual. Did his family not try to stop your marriage in the first place? Did you not discuss these cultural differences and how you’d resolve them. Especially as regards having children. Or has he changed his mind recently?

Sounds to me like the death of his father has stirred up guilty feelings in him which has turned him back to his religion. He probably “sees” his father watching and judging him. Their religion runs very deep and very strong, and I’m not sure how your desires can hope to compete with this.

Generally Muslim men expect their wives to be obedient – something that a lot of us western women would find very difficult. Also something that many western raised Muslim women
find hard to deal with.

You need to talk (obviously) and consider YOUR happiness (not just his). If it seems that these differences cannot be overcome then there seems little hope for the marriage.

For God’s sake don’t have children before you have things well and truly sorted!

Jools. X

Thanks Jools, your comments are much appreciated. This is based around his father’s death but I do think it would have happened at some point.

His family had no problems with us marrying, they are not in the UK but North African, they push religion when I am there and I got to the mosque with my husband’s mum when I can because her own daughters won’t. They seem to be quite tolerant, but I’m not sure they would be if they thought I was “acting up”.

My husband came to England in 2001 to study and we met the following year, I wasn’t his first girlfriend and he was and is very happy to live the “western” life when he chooses… I have tried my hardest to read and learn about Islam, I’m always asking questions and reading and finding my own answers.

Once my husbands training ended he could only return on a Fiancé Visa which meant we had to marry after 6 months, trouble was he came back into the country still not practicing – it was part way through the wedding plans when he asked about a church blessing that he was told the children must be Muslim – If I’m honest, I can’t believe he didn’t know, but he swears he didn’t. It therefore left me 4 weeks to decide what to do. We had always previously been able to sort things so I assumed (stupidly) that we could sort this as well but I honestly don’t think we can.

We talked to an imam and I was totally blanked in the conversation, I dressed as I should and was respectful but I didn’t feel that came back, if I’m truly honest my own C of E Vicar was of no help to me. Sorry I’m ranting again. Just nice to be able to get it off my chest. Thanks again for your posting, it all helps.

Take care

Hi Sarah

Rant all you want! I often do. Problem is, we haven’t been raised to be “blanked”, and if you stick in this culture you will ahve to learn to accept it (from the men anyway). I reckon the only way that you will cope with it all is if your H is totally sympathetic to your feelings and is occasionally prepared to fight your corner. The whole subservient thing must be SO hard when you’re not used to it! Presumably he knows of your unhappiness. What does he have to say about it all?

Jools.

Dear Sarah

Might I suggest you look in our interfaith section. There is an organisation that specialises in supporting people in Muslim Christian marriages linked from there, which might be able to help you and would certainly understand the issues that you are facing.

Liz

Its very difficult because basically if he has returned to Islam the kids have to be brought up as Muslims thats not negotiable. I have been in Saudi Arabia for the past 7 years and the cultural differences between Muslims and Westerners is frightening.

I am agnostic so this is not from a religious point of view but an observation.

You will never see a Muslim woman marry a Christian man its not allowed. I have seen a few western girls marry in to Muslim families and in most cases it has worked but the girls have to make the sacrificies, most of them have gone in to the relationship with there eyes open and its worked, but we will see, when the second wife usually the phillipino maid hired to look after the kids gets her claws in to the guy, the first wife get thrown on to the scrap heap. Sorry to answer this in such a cynical manner

Sierra

If I were you I would get the hell out of there and fast.

D
Mia

Hello Sarah,

Your dilemma strikes a cord with my own recent prediciment. Like your husband I am a muslim who drinks, socilaises etc and while at university met a white english christian girl with whom i fell in love with. Obviously the issue of what would happen if we got married, if we had kids etc…was on her mind as the relationship progressed..and she quizzed me about this – as any girl wants to know if there is realistically a future for ‘us’.

I reassured her by being honest with her..saying that If I wish to be a more stricter muslim in the future then that is my perogative as religion is personal and assured her in line with teachings of Islam she would be free to keep and practice her own (Christian) religion and customs if she wished and did not need to convert. So what your husband is doing is wrong in this respect – he should not restrict you from eating non-halal, praying etc…

In a Christian/muslim marriage both sides can keep their own seperate religions and still live in harmony side by side – perhaps your husband is getting tradtion/culture confused with religion.

However with the issue of children – yes they do have to be raised a muslim – this is the father’s obligation to do so. I relayed this to my girlfriend…but said that I would prefer it if they were..but I acknowledge they might not be and that it would be hypocritical given that I am not that religious anyway.

I loved my girlfriend dearly and reassured her that it wouldn’t be a problem…and that we could compromise and teach them both religions if need be. At the end of the day I explained to her that I am fully aware growing up in British society like herself that the majority of youth are not interested in religion anyhow even if they are taught it from a young age (myself is an obvious example), also at the end of the day children when they grow up will make their own choices about whether they follow religion or not and indeed which one.

I would never do my girlfriend/wife wrong like your husband has – who now suddenly expects you to conform and change just because he has. I wanted to be with my girl because of all the things that make her..I don’t want to marry her and then change her!

Your relationship like mine was always going to be about compromise on both sides ..you both knew that when you got together..I think you should try and find some middle ground here….try reverting back to what is says in Islam about mixed marriages (i.e. you should be free to keep your religion etc) and you will see that it is more than tolerant! It’s culture/traditions not religion being imposed upon unfairly on you here. So please don’t hate Islam!

I hope this helps in some way mate!…get back to us if you like or drop us a line at
slickerthanuraverage@hotmail.com

Mia

Dear Sarah,

I understand you problem. I am together with a Muslim man, yet we are still young to marry. We met at university and at the beginning none of us thought it was going to end up in a serious relationship. We now live together and even though he has visited my country and my family loves him his family still doesnt even know i exist! It is hard from my point of view to asume I am never going to have a good or any relationship with my boyfried/husband´s family.

His family is very traditional and he loves them a lot. I am always worried that one day he will tell them and will agree to leave me in order to keep his family happy.

I will not want to find myself with all my dreams broken after so many years of being together. I also worry that with time he will become more religious (he already is quite religious) and will end up changing our relationship.

The message from Mia was helpful as it is always good to hear some positive solutions from another muslim. My boyfriend says our relationship will never change and even though he will become more religious with the years that wont change the fack that he loves me and that I will alwaysbe able to keep my Christian faith. Still the idea of his family scares me too much and I cant stop thinking that one day he´ll change and break my heart. Also there is all this traditions like not showing affection in public which I will never be able to cope with as, from my point of view, people that love each other should be able to express their love freely. I dont know if this will help you but it is always good to share experiences.

Sierra

Dave and his bunch can delete this if they wish, but here it is from the heart:

I can not for the life of me understand why a woman would marry into a culture that by its own rules and behavior stands for the abuse of women.

What the hell are you thinking?

That would have been like a jew joining the Nazis. I mean honest to god. The practices of the muslim faith (if thats what you want to call it) should be resisted by everyone and at all costs.

You need to get out.

IF you want some advice from those who have experience in this area, have a look at some of the organisations here.

Liz

Hi Sarah, I completly sympathise with you, as I’m going through exactly the same problem, Ive been married to my muslim H for 7 years, and for the whole of the 7 years, all i have done it agree to his ways, and i feel at a lost end to. Its sort of comforting that there are people who are going through the same ordeal its really difficult, and I really believe there are no answers, because the muslim men are so stubborn in their ways. it would be nice to hear from you. Good luck Alex xxx

Hi,

The Muslim Christian couples group meet in London twice a year, and the next meeting is in March. I can’t post the details here, but if you want to know more, you can contact someone either through the http://www.interfaithmarriage.org.uk site or http://www.mcmarriage.org.uk

Sierra

Make sure you take your flak jacket. You never know when a bunch of peace loving muslims will begin expressing their views on the peace-loving faith itself.

I believe the phrase is duck and cover.

How a woman could marry into the faith is beyond me.

Thanks for posting, Rosalind.

Liz

Islam, Christianity and Interfaith:

http://www.beliefnet.com
see discussion on women in Islam, marriage and relationships.

http://www.wcc-coe.org/wcc/what/interreligious/c-mrel-e.html
World Council of Churches: Muslim/Christian encounter.

http://www.asmasociety.org
Islamic interfaith dialogue.

http://www.mcb.org.uk
Muslim Council of Britain.

http://www.understandingislam.org
go to social issues and marriage

http://www.westminster-interfaith.org.uk
http://www.interfaith-center.org
http://www.incore.ulst.ac.uk
Guide to internet sources on interfaith marriage including muslim/christian.

http://www.answering-islam.org
http://www.bham.ac.uk/theology/csic
Birmingham centre for study of Islam and muslim/christian relations

http://www.newmuslimsproject.net
see weddings and funerals.

http://www.religioustolerance.org
International Association for Religious freedom: resources for interfaith marriage.

Interfaith Marriage:

http://www.interfaithmarriage.org.uk
UK site for interfaith marriages.

http://www.dovetailinstitute.org
Dovetail Institute for Interfaith Family Resources.

http://www.interchurchfamilies.org
Association of Interchurch Families (interdenominational Christian marriages; but with an interest in interfaith)

http://www.marriagecare.org.uk
http://www.relate.org.uk
relationship counselling.

http://www.2-in-2-1.org.uk
marriage support links

http://www.gfic.net
french muslim/christian marriage group: excellent resources for french speakers.

Books:

• Marriages between Christians and Muslims
(Pastoral Guidelines for Christians and Churches in Europe) 1997 edited by Christopher Lamb.
available in UK from CCBI bookroom Inter-Church House 35-41 Lower Marsh, London SE17RL.
also available from Conference of European Churches (CEC/KEK) PO Box 2100 150 route de Ferney CH-1211 Geneva 2.
and Council of European Episcopal Conferences (CCEE) Gallusstrasse 24 CH-9000 St Gallen.

• Romain J. ‘Till Faith Us do Part.’ Couples who fall in love across the religious divide. London Fount (Harper Collins Religious) 1996

11 responses to “” Nikah Beda Agama “

  1. keyakinan saya menyatakan nikah beda agama gak dosa.. wis ngono ae.. pernyataan ini adalah mutlak benar dan saya pertanggung-jawabkan kpd Yang Maha Kuasa..

  2. Saya sangat suka tulisan ini…
    Tuhan cuma ada 1, meski agama ada banyak. Jadi sebaiknya tidak dipermasalahkan.

  3. Singa Padang Pasir

    Saya seorang pria & adlh seorang pelaku pernikahan beda agama(PBA). Dalam hal ini saya Muslim & pasangan saya Katholik. Berat memang utk memulai & memberanikan diri mengambil keputusan, terutama adlh tekanan dr keluarga, baik keluarga saya maupun keluarga pasangan saya. Dalam hal ini keluarga sayalah yg memiliki tekanan paling besar.
    Sebelum mengambil keputusan, saya bnyk bertanya kpd orang yg lebih paham soal agama & mencari ayat-ayat Al Qur’an yg menyebutkan bahwa PBA itu haram. Namun yg saya dapat sebaliknya, Surat Al Maidah ayat 5 menjawab itu semua, bila anda seorang calon pelaku PBA silakan anda baca.
    Sepengetahuan saya, Islam tdk pernah melarang pengikutya utk menikah dgn agama lain selama itu adlh Ahli Kitab, yaitu Nasrani & Yahudi. Namun ada jg yg menyebutkan bahwa non Ahli Kitab selama dia percaya adanya Tuhan itu jg boleh dinikahi. Bila itu jujur saya kurang paham, mungkin saya akan mempelajarinya lg.
    Saran saya utk anda calon pelaku PBA, mantapkan dahulu diri anda, soalnya PBA butuh keselarasan, saling menghargai, & saling memahami antara anda & pasangan, ini yg sulit. Bila memang anda merasa itu semua sdh sanggup anda lakukan, barulah anda putuskan menikah beda agama. Saya beri anda kekuatan, agama selain Islam tidaklah salah, semua kembali ke manusianya sendiri.

  4. saya pria,2thn yg lalu saya nikah dngan istri saya dengan nikah islam…sblm nikah saya memeluk nasrani dan istri saya islam,sebelum nikah saya ma istri saya berkomitmen salaing menghargai satu sama lain..akhirnya saya rela pindah agama demi formalitas biar rencana saya dan istri berhasil,dan setlh nikah saya mau pindah agama saya yg dahulu krn itu sudah termasuk komitmen kita berdua.setlh kelahiran anak saya,saya sibuk buat KK/ kartu keluarga, dan akte kelahiran untuk anak saya…ketika saya buat KK di kecamatan dan mau masukan agama saya yg dahulu di KK mengalami byk kendala..sampai2 saya berdebat sama pegainya dan pak camat.katany harus bawa surat baptis dan surat pernyataan bermaterai 6000.setelah saya lengkapi permintaaan itu,ganti surat baptisnya ga berlaku karena diterbitkan sebelum saya nikah….trs saya balik tanya pd petugas administrasinya…setelah saya perbaruhi surat baptis saya,apa bapak sanggup menggubah???/ petugasnya gak bisa jawab….sampai sampai saya agk jengkel dan berdebat trs sama petugas dan pak camatnya…..mohon buat rekan2 semua kalo ada solusi beri tau saya syarat balik agama biar bisa tercantum di KK dan KTP.istri saya juga sudah beri ijin

  5. sebenarnya nikah beda agama itu mudah dan enak dijalani kalau masing2 pasangan saling torenlansi.
    cuma masyarakat atau orang2 sekitar justru yg menjadi biang hancurnya runahtangga,memperolok,mempersulit,membuat jarak dgn kita seolah2 kita mahluk paling haram.

  6. Sebenarnya yg mengkotak kotakan agama itu manusia nya sendiri,semuanya bertujuan sama TUHAN yg cm ada satu….

  7. Konon, zaman ini adalah zaman edan. Siapa yang tidak ikut edan tidak kebagian. Cinta menjadi dewa, lebih penting dari agama. Orang yang berpegang teguh kepada agama, bisa dituduh “menuhankan agama¨. Tetapi orang yang menuhankan cinta dipuja sebagai manusia yang setia dan mulia.

    Di tengah keedanan ini, lalu muncul orang-orang dari kalangan cendekiawan agama yang membenarkan tindakan yang salah. Mereka secara serampangan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, menganggap para sahabat Nabi Muhammad saw dan ulama-ulama mujtahid telah keliru karena melarang perkawinan muslimah dengan laki-laki non-muslim. Menempatkan dirinya lebih hebat dari pada para mujtahid dan ulama-ualam yang agung, padahal, dia sendiri belum pernah menulis satu kitab bermutu dalam bidang syariat Islam. Ilmunya dalam hal ini pas-pasan. Adalah sangat bahaya jika seorang yang jahil dalam bidang agama justru dijadikan panutan dalam masalah agama.

    Umar r.a. juga pernah menyatakan, “Tidak halal bagi laki-laki non-muslim menikahi wanita muslimah, selama si laki-laki tetap belum masuk Islam”. Sikap Sayyidina Umar bin Khathab yang tegas itu didasarkan pada Al-Qur’an surat Mumtahanah ayat 10, ”Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kami telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu mengembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.”

  8. I believe that one of your current ads initiated my web browser to resize, you might well want to set that on your blacklist.

  9. http://www.nikahbedaagama.org
    Melayani konsultasi persoalan-persoalan pada masa pra-nikah, persiapan nikah dan konselling pasca nikah.

  10. Nikah beda agama….. Sah aja… Yang paling terpenting. Urusannya Hati kita sama Tuhan. Bukankah kita di ciptakan dengan banyak perbedaan.. So… ??!
    Menyatukan Perbedaan Tanpa harus meninggalkan Tuhan… dan Saling Mengingatkan kepada pasangan masing masing agar tidak meninggalkan Sembhayang.. Sholat atau Berdoa menurut keyakinan masing masing.. Dan untuk urusan anak.. Biarlah si Anak sendiri yang akan memilah keyakinan apa kelak yg akan di anut.. Karena.. Semua agama itu Baik… Yang Terpenting urusan hati kita sama Tuhan. Percuma beragama islam tapi kalo ga pernah sholat dan berbuat baik… Percuma juga kita beraga kristen katolikvkalo ga pernah pergi ke gereja dan beramal.. Percuma juga kita beragama budha atopun hindu jika lupa sama sembahyang dan berbuat kebaikan. Toh semua itu hanya cover.. Sekali lagi yang terpenting Urusan hati kita sama Tuhan masing masing.. Dan biarlah Tuhan yang menilai kita. Kita sebagai manusia jangan menghakimi satu sama lain….. Toh belum tentu kita itu selalu benar di Mata Tuhan….
    Salam Persahatan dari Saya…
    ____fafa____Bali___

  11. saya pribadi berasal dari keluarga yg berlatar belakang islam yg kental ( hampir semua keluarga dari pihak ibu sudah haji dan yg wanita berhijab ),saya memutuskan menikah dgn wna yg kebetulan beragama katolik,,saya dan suami tetap pada keyakinan masing2..tapi suami sudah bilang dari awal pernikahan.(kami menikah di luar negeri)..bahwa anak2 kami ikut agama saya…saya tau..ada yg pro atau kontra dgn apa yg kami jalani…itu hak mereka, toh pada akhirnya sayalah yg akan mempertanggung jawabkan semuanya di hadapan Allah nantinya…

Leave a reply to ekspresidiri Cancel reply